curhat orang tak terdidik..

Sangat senang ketika tahu bahwa masih banyak teman-teman yang sangat peduli dengan pendidikan. Sebagian terpilih mendapatkan kesempatan untuk menjadi pengajar di IM, sebagian besar lainnya mungkin berkesempatan memberikan kontribusinya dengan wadah yang lain..

Ketika membaca surat Kak Aji untuk adik-adik di Majene perasaan saya bercampur, senang dan khawatir. Senang karena melihat semangat Kak Aji dan Ibu Arum dalam mendidik adik-adik di Majene, senang bisa melihat tulisan surat-surat balasan dari adik-adik murid Bu Arum.

Lalu apa yang dikhawatirkan?

Ketika SD, saya bercita-cita ingin menjadi insinyur, ada teman yang ingin menjadi dokter, ada teman yang ingin jadi presiden. Cita-cita yang sangat mulia bukan? Tentu, karena menurut guru saya dulu, itulah pekerjaan orang-orang pintar. Saya sedikit sedih karena berarti ayah saya bukanlah termasuk orang pintar. Beliau bukanlah insinyur, bukan dokter, apalagi presiden.

Ketika SMP,saya dipuji banyak teman dan guru karena katanya saya pintar, jago matematika. Setiap ujian selalu mendapat nilai yang baik. Padahal sebetulnya saya sedih karena saya tidak bisa bermain gitar dan tidak pandai bermain sepak bola. Saya sangat suka sepak bola tetapi tidak pernah diizinkan untuk masuk sekolah sepak bola karena katanya tidak punya masa depan. Saya juga kasihan melihat teman saya yang selalu dianggap bodoh karena nilai matematikanya selalu buruk. Ya buruk, karena setiap kali pelajaran matematika dia selalu memenuhi buku tulisnya dengan gambar-gambar yang sangat bagus.

Ketika SMA, saya termasuk dalam golongan yang mempersiapkan diri berlomba-lomba untuk bisa masuk ITB atau UI, karena katanya disitulah tempatnya orang-orang pintar bekumpul. Di ITB lah saya harus kuliah jika ingin jadi Insinyur handal, di UI lah saya harus kuliah kalau ingin jadi dokter yang baik. Dan mungkin kalau saya kuliah disana maka saya akan berkesempatan menjadi presiden, seperti Soekarno dan Habibie. Ada satu teman sekelas saya yang ingin melanjutkan sekolahnya ke sekolah keperawatan. Tetapi sebagian besar guru kami menyayangkan keinginannya itu, karena katanya dia bisa jadi lebih daripada sekedar perawat..karena pada dasarnya dia memang pintar. Apakah pekerjaan sebagai dokter itu lebih mulia daripada perawat?

Setelah sekian lama…saya semakin tersadarkan. Bahwa ternyata mimpi saya sangat sempit..dan itu akibat dari pendidikan dasar yang saya dapatkan. Entah apakah ada yang sepikiran dengan saya atau tidak, saya merasa bahwa pendidikan dasar yang saya dapatkan telah memangkas ribuan cabang mimpi yang ada di dunia ini. Saya terperangkap dalam frame berpikir bahwa orang yang pintar dan sukses adalah hanya orang-orang yang berhasil menjadi insinyur, dokter, dan presiden. Terperangkap dalam opini bahwa orang yang pandai adalah yang nilai-nilai pelajaran eksaknya tinggi, sedangkan yang hanya pandai melukis, bermusik, dan menulis adalah kurang pintar. Terperangkap bahwa hanya ITB, UI, dan universitas-universitas besar lainnya lah yang akan membawa saya jadi orang sukses karena didalamnya terdapat orang-orang pintar. Pemikiran bodoh bukan?

Memberikan mimpi besar kepada anak-anak seusia murid SD tentu tidak salah, sangat baik. Tetapi harus berhati-hati agar tidak terperangkap seperti saya.

Itu kekhawatiran saya…saya khawatir ketika pendidikan yang harusnya meluaskan kesempatan dan pemikiran para peserta didik justru malah menyebabkan penyempitan sejak masih dari alam pikir mereka. Pendidikan dasar adalah waktu yang tepat untuk memberikan banyak kesempatan kepada mereka untuk bermimpi, mimpi seluas-luasnya, mimpi yang tidak terikat dengan materi, mimpi yang tidak terikat dengan kesuksesan dunia yang semu, mimpi yang muncul dari hatinya, bukan mimpi yang di plot oleh gurunya untuk ditunaikan suatu hari nanti. Sehingga pada akhirnya, adik-adik kita bisa berkata: saya menemukan apa yang saya inginkan, saya berusaha mengejarnya, saya melakukannya dengan senang hati, dan saya mencintainya.

Berbicara masalah pendidikan dasar memang tidak mudah, apalagi di negara kita dengan segala kekurangannya. Satu pesan saya yang selalu saya sampaikan bagi diri saya sendiri: Jika saya berkesempatan menjadi pendidik, tugas saya sebagai orangtua bukanlah untuk menentukan masa depan anak., tugas saya sebagai guru bukan untuk membuatkan jalur kesuksesan untuk si murid…tetapi tugas saya hanyalah membantu anak dan murid-murid saya untuk menemukan masa depannya dan menentukan jalur kesuksesan menurut pikirannya sendiri.

Soekarno memang hebat dan disegani oleh pemimpin-pemimpin dunia, kita hormat kepada beliau, tetapi bukankah lebih baik ketika mereka adik-adik kita itu lebih hormat kepada orangtuanya dibandingkan kepada Soekarno? Tekun dan rajin belajar bukanlah bertujuan untuk masuk ITB. Tekun dan rajin belajarlah untuk menjadi manusia pembelajar yang berbahagia. Menjadi pemimpin bangsa memang hebat. Tentunya ketika kita telah mampu memimpin diri sendiri..dan itulah peran pendidikan dasar.

Salut kepada IM dan teman-teman yang berjuang di dalamnya, tetap semangat.

Semoga semua itu hanya kekhawatiran saya saja dan tidak benar-benar terjadi.

Semoga suatu saat saya bisa membaca lagi surat dari adik-adik lainnya, tentunya dengan bahasa anak-anak yang penuh kepolosan dan kejujuran. Surat yang ditulis karena mereka memang ingin bersurat.


9 thoughts on “curhat orang tak terdidik..

  1. blogwalking, pak rangga, salam kenal 🙂
    membaca ini teringatkan suatu kejadian. waktu itu sedang pelajaran fisika, guru saya bicara soal hebatnya slh satu jurusan di ITB yg konon katanya cocok sekali untuk anak2 yg jago fisika. entah datang dorongan drmn, bapak guru menodong sy dgn pertanyaan “kamu, masuk jurusan apa nanti?” saya spontan menjawab, “senirupa, pak”, ekspresi wajahnya langsung berubah dan bapak guru tidak pernah lagi bertanya pada saya.

    rasanya selalu ingin ketawa kalau ingat kejadian itu.
    walaupun akhirnya sy tidak jadi masuk senirupa, sy senang pernah bisa bicara demikian 🙂

    salam.

  2. salam kenal bu tiffa..

    hehe, kebayang muka guru yg langsung diem karena mendengar jawaban yg ga sesuai ekspektasinya.. tapi gimanapun da tetep guru yah..

    ya ga jd masuk senirupa tapi belok2nya cuma dikit kan..tetep bisa menyalurkan passionnya,hehe.

    salam

  3. salam kenal bung rangga..

    saya sepakat dengan pernyataan bung rangga tentang tulisan nya. Karena sistem pendidikan yang terpatri dan tertulis mengindikasikan bahwa fisika, matematikalah yang menjadi primadona, pelajaran lain seperti seni rupa, seni musik adalah bagian kesekian dari pelajaran yang utama.

    Kayaknya bung Rangga orang yang pintar sekali dalam bercakap.
    mohon bimbingannya
    ditunggu tulisan nya.

  4. coba disampaikan kekhawatirannya sekedar untuk berbagi.
    menurutku itu wajar dan harusnya dimulai dari mimpi besar sebagai trigger, biar terkesan waah bgt sehingga anak itu bisa punya keinginan besar untuk meraihnya. nah, saat itulah fungsi pendidik berlaku, memberikan arahan saat anak itu mulai berjalan meniti mimpinya.

    1. udah disampaikan jd via comment box.

      nah itu dia permasalahannya..kita sama2 berharap fungsi pendidik yang seperti itu. tapi kekhawatiran ini muncul karena dari sekian banyak guru-guru rga dulu sejak SD-SMA kebanyakan adalah tipe guru “konservatif” yang justru menyempitkan makna pendidikan itu sendiri.

      jadi untuk dampak tulisan Aji itupun masih berupa kekhawatiran yang mungkin akan berdampak buruk jika dia tidak menindaklanjutinya dengan meluaskan kesempatan anak didiknya.

    1. hhmm..ketika berbicara masalah ini rasanya akan terlalu lelah kalau kita cari siapa yg salah. kalau di reply sebelumnya (yg ke ratih) itu seakan saya memojokan posisi guru karena disitu yg sedang dibahasnya adalah fungsi pendidik dalam hal ini guru. Tetapi sebenarnya menurut saya banyak hal lain yg ikut andil membuat kondisi menjadi seperti sekarang

      misalnya keluarga sebagai wahana pendidikan awal bagi anak..apakah keluarga itu cukup memberikan kesempatan bagi si anak untuk mengembangkan potensinya?

      lantas guru..pola ajar guru jg sedikit banyak dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan kita yg mungkin berat sebelah. entah apa dasar penyusunan kurikulum, tapi saya rasa untuk menjawab kebutuhan kehidupan bermasyarakat (dalam arti yg sangat luaaaaass). nah kalau masyarakatnya sendiri bukan golongan yg mampu mengapresiasi segala kebaikan secara luas..maka penyempitan itu sendiri sudah terjadi di segala sektor bukan?

      jadi kalau saya pikir lebih baik tidak memulai dari mencari siapa yg salah, tapi mulai menjadikan diri sendiri mampu menjalankan fungsi pendidik yg baik bagi keluarga dan orang2 terdekat.

Leave a reply to Rangga A. Sudisman Cancel reply