Kemarin malam, si partner menyuguhi saya semangkuk Udon panas + ebi tenpura + coklat panas + dorama baru di internet. Apa yang spesial dari menu itu? Yup, dorama baru! Awalnya saya tidak terlalu suka dengan dorama, tapi berhubung hampir tiap hari menemani si partner nonton dorama dengan alasan belajar bahasa Jepang..jadi ya dinikmati saja. Toh saya rasa lebih baik juga daripada nonton mivo jam segitu; kalau ngga Tina Talisa paling Nikita Willy, ya ngga?
Dorama-nya kali ini tentang seorang laki-laki yang bekerja sebagai assessor di perusahaan asuransi jiwa, tugasnya menginvestigasi kronologis kematian seseorang agar bisa dinilai apakah pewarisnya layak mendapatkan asuransi atau tidak. Ide dari ceritanya cukup sederhana, tapi sarat makna.
Nah berbicara tentang asuransi jiwa, obrolan kami merambat kepada istilah “jaminan sosial”. Di negara-negara maju seperti US, Jepang, dan negara-negara Eropa sistem jaminan sosial sepertinya menjadi elemen penting bagi kehidupan ekonomi warganya. Misalnya di Swiss atau negara-negara skandinavia, pemerintah mereka menetapkan pajak yang besar terhadap warga yang berpenghasilan tetap..katanya bisa sampai 25%. Tapi pemerintahnya menyediakan sekolah gratis, fasilitas kesehatan gratis, transportasi publik yang nyaman, dsb.
Di Jepang juga pajaknya cukup besar, konsekuensinya adalah 70% potongan biaya kesehatan, transportasi publik yang nyaman, fasilitas pendidikan yang baik, dsb. Di Jepang juga setiap warga yang sudah memasuki masa pensiun akan mendapatkan uang pensiun yang cukup besar. Terlepas dia pegawai pemerintah ataupun pegawai swasta. Uang pensiun ini didapat dari memotong gaji angkatan kerja yang masih produktif. Bagaimana dengan asuransi jiwa? Dari info yang didapat di dorama itu, setiap claim asuransi bisa bernilai rata-rata antara 20 juta yen-60 juta yen per kematian (2-6 milyar rupiah). Dan ini untuk orang biasa, bukan pejabat/pengusaha super kaya yang mungkin bisa lebih besar lagi.
Membangun sistem jaminan sosial seperti itu bukanlah hal yang mudah. Jepang membangun sistem ini sudah sejak lama, sejak mereka sangat giat-giatnya membangun, angkatan kerjanya sangat produktif, dan ekonominya melesat. Sepertinya kemapanan sistem jaminan sosial bagi suatu negara itu berbanding lurus dengan kemajuan ekonominya.
Di sisi lain, kemajuan ekonomi juga berimbas kepada perubahan kondisi sosial dan budaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa piramida populasi negara-negara maju cenderung berbentuk segitiga terbalik. Angkatan pensiun mereka lebihbesar daripada angkatan kerja dan generasi masa depannya. Ini karena pergeseran budaya, mereka enggan untuk memiliki anak, enggan untuk menikah, kalaupun menikah dan memiliki anak sebaiknya nanti saja setelah agak “dewasa” dan mapan. Hal ini menyebabkan jarak antar generasi menjadi lebih lebar.
Kondisinya sekarang (menurut pengamatan saya yang bisa saja salah):
- pemerintah Jepang harus membayar uang pensiun yang sangat besar kepada kakek-nenek yang jumlahnya sangat banyak dan umurnya panjang (karena mereka sehat-sehat).
- pemasukan pajak dari angkatan kerja (yang lebih sedikit populasinya ini) cenderung lebih kecil dari biaya jaminan sosial dan uang pensiun
- pemerintah harus menutupi biaya tersebut, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak baik
Tentunya negara-negara maju tidak hanya tinggal diam dalam menghadapi masalah tersebut. Mereka berusaha untuk merubah segitiga terbalik itu menjadi belah ketupat yang mungkin ideal. banyak upaya yang dilakukan seperti memberikan encouragement bagi warganya untuk rajin-rajin bereproduksi (tunjangan lebih bagi yang melahirkan & banyak anak), menyerap tenaga kerja dari negara-negara berkembang (tentunya juga tetap dipajaki), menaikan pajak terhadap warganya, dll.
Tapi sampai sekarang usaha itu belum terlalu membuahkan hasil. Sehingga kemungkinan terburuknya (hasil analisis saya yang awam dengan ukuran kepala relatif kecil ini):
- kondisi ekonomi semakin melemah (akibat 3 kondisi yang saya tulis di atas)
- suatu saat, kakek-nenek ini akan meninggal berbarengan (wallahualam…) sehingga banyak perusahaan asuransi harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar sekaligus..(mungkin bangkrut ga ya?)
- perpindahan uang dalam jumlah sangat besar dari institusi2 keuangan, pemerintah, pasar menuju dompet-dompet pribadi ahli waris..investasi pasar seperti tersedot mendadak
- mungkinkah negara-negara maju akan bangkrut? (seperti kecenderungan yang terjadi di Eropa sekarang).
Lantas bagaimana solusinya? Apakah sistem jaminan sosial itu salah dan seperti bom waktu yg suatu saat akan menghancurkan?
Hhhmmm…diluar batas nalar dan kapasitas kepala saya tentunya. Tapi kalau boleh menerawang, saya membayangkan kondisi pada masa nabi Muhammad SAW…indah sepertinya.
Note:
saya agak bingung kalau ditanya kondisi populasi Indonesia seperti apa? segitiga? terbalik? jajar genjang? belah ketupat? hhhmmm…agak sulit menjawabnya, KTP nya belum jadi.
Originally posted on 6th October 2011
(Pindahan dari tempat pengungsian sementara: kashikoidangomushi.wordpress.com)